Antara Kredit dan Semurni-Murninya Riba (Riba Al-Nasi’ah)

Antara Kredit Dan Riba Nasiah

Kredit dalam Islam tidak dilarang. Rasulullah SAW pernah melakukan kredit ketika membeli makanan untuk keluarganya dari orang Yahudi dan beliau menjaminkan baju besinya. Beliau membeli makanan dengan harga tunai dan dibayarkan pada waktu kemudian. 

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha, Dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran yang ditunda dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW mencontohkan kredit dengan jaminan, sehingga barang yang dibeli dengan kredit dijamin keamanannya. Pembeli barang tidak dapat membawa kabur barang karena terdapat jaminan yang nilainya setara dengan barang yang dibeli. Adanya barang jaminan juga menjamin keamanan ketika pihak pembeli meninggal atau ada kendala lain diluar kuasa kedua pihak. Transaksi kredit dengan jaminan juga dapat meminimalisir adanya permusuhan, perpecahan dan konflik. Salah satu hakikat transaksi ekonomi dalam Islam adalah meminimalisir potensi terjadinya permusuhan, perpecahan dan konflik, seperti larangan membeli tanaman yang belum dipanen.

Pada dasarnya jual beli yang dilakukan secara kredit atau tidak cash diperbolehkan. Namun ada beberapa kredit yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena terdapat riba didalamnya.

"Tidak ada riba apabila pembayaran dilakukan dengan segera." (H.R Bukhari, Muslim)

Jual beli kredit yang dilakukan Rasulullah SAW dengan jual beli kredit saat ini sangat berbeda. Jual beli kredit yang dilakukan Rasulullah SAW tidak termasuk ke dalam riba karena tidak ada kenaikan harga sebagai keuntungan atas penundaan waktu pembayaran. Sedangkan kredit yang dilakukan saat ini terdapat kenaikan harga sebagai keuntungan atas penundaan waktu pembayaran.

Hampir seluruh kredit saat ini baik rumah, kendaraan maupun barang lainnya dilakukan dengan tambahan kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut meskipun terlarang dianggap wajar sebagai imbalan dari penundaan pembayaran, inflasi atau semakin naiknya harga barang. 

Jika alasan menaikan harga kredit karena inflasi maka anggapan tersebut salah besar, karena inflasi sendiri merupakan salah satu dampak dari riba dan bahkan merupakan dampak dari inti sari riba sehingga anggapan bahwa kenaikan harga kredit dibolehkan dengan dalih untuk menutupi kerugian inflasi yang semakin tahun semakin bertambah adalah salah. 

Jika alasan menaikan harga kredit karena mengejar naiknya harga barang, maka naiknya harga barang sejatinya terjadi bukan karena faktor ekonomi yang murni, tapi kembali faktor utamannya adalah karena inflasi. Inflasi menyebabkan menurunnya nilai uang sehingga terkesan harga barang naik.

Jika alasan menaikan harga kredit sebagai imbalan keuntungan maka tiada keuntungan tanpa ada resiko kerugian. Menaikan harga kredit adalah sebuah keuntungan yang terlarang dan termasuk riba, karena keuntungan yang diperoleh tidak diikuti dengan adanya potensi kerugian. Sedang kunci yang membedakan riba dan jual beli adalah adanya potensi kerugian. 

Jika alasan menaikan harga kredit karena penundaan waktu pembayaran, maka ini terlarang karena uang tidak bisa bertambah dengan penundan waktu melainkan harus dengan usaha, ini menyalahi prinsip dalam Islam bahwa setiap hasil keuntungan harus dilakukan berdasarkan usaha sendiri bukan dari usaha orang lain melalui sistem yang hanya menguntungkan salah satu pihak melalui kredit riba. 

"Dan bahawasanya seorang manusia tidak tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Q.S An Najm : 39)

Ketika uang bisa bertambah seiring bertambahnya waktu maka inilah semurni-murninya riba, yaitu riba nasi'ah. Riba nasi’ah berasal dari kata an-nasaa’u, yang berarti penangguhan.

“Tidak ada riba kecuali pada nasi'ah.” (HR. Bukhari)

Bertambahnya kenaikan harga kredit karena penundaan waktu adalah riba nasi'ah. Sama seperti halnya riba pada umumnya yang tidak memandang besar kecilnya bunga, tambahan kenaikan harga dalam kredit juga demikian. Berapapun kecilnya kenaikan harga kredit dari harga tunai tetaplah riba.

Saat ini banyak sekali praktik kredit yang dikamuflasekan dengan label syariah. Banyak pula fatwa atau pendapat ulama yang menyatakan bahwa kenaikan harga kredit dari harga tunai adalah halal selama tidak melibatkan pihak ketiga, tidak ada bunga, sita dan denda. Setiap kenaikan harga kredit adalah semurni-murninya riba atau riba nasi'ah. Berusahalah untuk tidak melakukan kredit karena saat ini sangat jarang ditemui kredit yang benar-benar syariah sebagaimana kredit yang pernah dilakukan Rasulullah SAW, yaitu tidak ada kenaikan harga kredit dari harga tunai.


Allahu A'lam
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel