Kredit, Dua Harga dalam Satu Transaksi dan Riba

Kredit, Dua Harga dan Riba

Sahabat SRM, ketika kami menulis artikel tentang Antara Kredit dan Semurni-Murninya Riba (Riba An-Nasi’ah), banyak yang menolak anggapan bahwa kredit dengan kenaikan harga adalah riba. Kredit dengan kenaikan harga artinya terdapat kenaikan harga antara harga tunai dan harga kredit. Para ulama sendiri berbeda pendapat tentang kredit dengan kenaikan harga. Dalil yang dipakai sebagai dasar untuk menghalalkan kredit dengan kenaikan harga antara lain Al Qur'an surat Al-Baqarah ayat 282, hadis tentang kredit yang dilakukan Rasulullah SAW kepada orang Yahudi dan hadis tentang larangan dua harga dalam satu transaksi. Berikut pembahasan masing-masing dalil:

1. Surat Al-Baqarah ayat 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (Q.S. Al-Baqarah: 282)

Dalam bermuamalah seperti jua beli, sewa-menyewa, salam, qardh (utang-piutang) yang dilakukan tidak secara tunai maka hendaklah dicatat untuk pengukuhan serta menghindarkan pertikaian dan menjauhkan perselisihan.

Dalam tafsir ibnu katsir, Qatadah meriwayatkan dari Abu Hassan Al-A:raj, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku bersaksi bahwa utang yang dalam tanggungan sampai dengan batas waktu yang tertentu merupakan hal yang dihalalkan dan diizinkan oleh Allah pemberlakuannya." 

Seluruh transaksi dalam muamalah yang tidak dilakukan secara tunai hukumnya halal. Setiap muamalah yang tidak tunai harus dicatat. Ibnu Juraij mengatakan, "Barang siapa yang melakukan transaksi utang piutang, hendaklah ia mencatatnya; dan barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian".

Dalam surat Al-Baqarah ayat 282, Allah telah menghalalkan setiap muamalah yang tidak tunai, dan setiap muamalah yang tidak tunai harus dicatat dan diperintahkan untuk menghadirkan saksi untuk menghindari perselisihan. Namun surat Al-Baqarah ayat 282 tidak menjelaskan tentang kredit dengan kenaikan harga sehingga surat Al-Baqarah ayat 282 tidak bisa dijadikan dasar kredit dengan kenaikan harga.

2. Hadis tentang kredit Rasulullah SAW kepada orang Yahudi

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha, Dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran yang ditunda dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam tidak melarang kredit, Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan pembayaran terhutang atau kredit dan beliau menggadaikan perisainya sebagai jaminan. Namun perlu digaris bawahi, bahwa kredit yang dilakukan Rasulullah SAW "tidak ada tambahan atau kenaikan harga". 

3. Larangan dua harga dalam satu transaksi

"Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli." (HR. Ahmad dan Nasai).

"Siapa yang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mendapatkan kebalikannya (yang paling tidak menguntungkan) atau riba." (HR. Abu Daud)

Ulama berbeda pendapat mengenai makna  dua transaksi dalam satu transaksi.

Imam Hanafi rahimahullah berkata, “Jual beli seperti ini fasad (dinyatakan rusak) karena harganya masih majhul (belum diketahui).”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Akad jual beli seperti ini bathil karena jual beli ini mengandung unsur penipuan dengan sebab adanya jahalah (ketidakjelasan).”

Imam Malik rahimahullah dan asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat tentang sahnya jual beli ini, namun beliau mensyaratkan adanya khiyar (hak untuk menentukan pilihan).

Banyak yang berpendapat bahwa pelarangan kredit dengan kenaikan menggunakan hadis ini kurang tepat karena jual beli kredit bukan jual beli dengan dua harga, tetapi jual beli dengan satu harga. Dua harga hanyalah pilihan di awal sebelum ada kesepakatan. Namun ketika sudah ada kesepakatan akan jumlah dan waktu pembayaran maka ada kejelasan harga dan waktu antara pembeli dan penjual sehingga kredit dengan perbedaan harga tunai dan kredit bukan termasuk riba. Sebab letak keharamannya bukan pada adanya dua harga, melainkan pada ketidakjelasan harga dan waktu. Jual beli dengan dua harga hanya terjadi ketika barang telah dibawa pembeli namun belum ada kesepakatan pembayaran, sehingga tidak adanya kejelasan harga yang dipilih antara tunai ataukah kredit.

Sahabat SRM, berdasarkan urain dalil diatas dapat disimpulkan bahwa kredit dalam Islam diperbolehkan dan hendaknya setiap kredit harus dicatat dengan jelas dan adil. Hal yang perlu diperhatikan ketika uang bisa bertambah dengan penangguhan waktu tanpa bekerja maka akan ada jaminan selalu mendapat keuntungan. Padahal hasil keuntungan dalam Islam harus diperoleh dari usaha sendiri bukan dari penangguhan waktu berdasarkan usaha orang lain.

"Dan bahawasanya seorang manusia tidak tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Q.S An Najm : 39)


Ketika uang bisa bertambah seiring bertambahnya waktu maka inilah semurni-murninya riba, yaitu riba nasi'ah. Riba nasi’ah berasal dari kata an-nasaa’u, yang berarti penangguhan.

“Tidak ada riba kecuali pada nasi'ah.” (HR. Bukhari)

Bertambahnya kenaikan harga kredit karena penundaan waktu pembayaran adalah riba nasi'ah. Sama seperti halnya riba pada umumnya yang tidak memandang besar kecilnya bunga, tambahan kenaikan harga dalam kredit juga demikian. Berapapun kecilnya kenaikan harga dari harga tunai tetaplah riba.

Untuk menghalalkan kenaikan harga kredit dari faktor penangguhan waktu, ada yang mensiasati dengan memberi syarat kredit dengan kenaikan harga, yaitu kenaikan harga kredit bukan semata-mata disebabkan oleh perbedaan jangka waktu pembayaran, namun diperhitungkan dengan risiko yang ditanggung serta tidak boleh ada kesepakatan mengenai adanya potongan harga ataupun denda yang dikaitkan dengan jangka waktu pembayaran dan disepakati di awal perjanjian. Namun perlu menjadi perhatian bahwa riba bersifat seperti alkohol, sekecil apapun keuntungan dalam riba yang dipersyaratkan tetaplah riba.

Ada juga yang menghalalkan kredit dengan kenaikan harga karena alasan dilakukan dengan saling ridha. Kenaikan harga kredit dianggap bukan riba dan halal jika dilaksanakan dengan saling ridha. Kenaikan kredit dianggap wajar sebagai ucapan terima kasih karena bank atau lembaga keuangan telah memberi bantuan. Perlu ditegaskan dalam Islam saling ridha tidak merubah suatu hukum dari haram menjadi halal. Seperti judi yang meskipun dilakukan dengan saling ridha tetap haram.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain diantara kalian dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian." (Q.S. An-Nisa: 29)

Dalam ayat di atas, saling ridha merupakan syarat dalam jual beli atau perdagangan agar hasil keuntungannya halal. Namun syarat utama agar halal adalah tidak memakan harta orang lain dengan cara batil. Kenaikan kredit merupakan salah satu bentuk memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga meskipun dilakukan dengan saling ridha tetap haram.

Dalam Islam kebiasaan jual beli dilakukan dengan tunai. Meski demikian, Islam tidak pernah melarang kredit. Kredit merupakan sunnah dalam Islam karena didalamnya ada saling tolong menolong. Tolong menolong dalam kredit terpenuhi jika harga kredit dan harga tunai sama. Akad kredit yang sebenarnya dalam Islam adalah akad tabarru yang bertujuan untuk menolong bagi mereka yang tidak bisa membayarnya secara tunai.

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).

Tolong menolong dalam kredit dilakukan dengan memberikan kredit yang tidak ada kenaikan harga antara harga tunai dan harga kredit. Tolong menolong dalam kredit bukan memberikan kredit dengan tambahan kenaikan harga. Ketika ada kenaikan harga kredit maka itulah penindasan dan eksploitasi karena pada dasarnya selalu menguntungkan salah satu pihak. Setiap kenaikan harga kredit yang dipersyaratkan adalah riba. Meski demikian masih banyak pihak yang belum sadar dan tetap menganggap bahwa kredit dengan kenaikan harga merupakan sebuah bentuk tolong-menolong karena pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya. 

Menaikan harga kredit sama seperti bunga dalam pinjaman riba yang telah menggeser dasar dari akad tabarru (tujuan tolong menolong) kepada akad tijarah (tujuan keuntungan). Hutang piutang pada dasarnya adalah bentuk akad tabarru untuk menolong dan membantu saudara yang kesusahan keuangan, namun ketika hutang piutang dijadikan bisnis sebagai akad tijarah untuk mengambil keuntungan maka dilarang dan termasuk riba. Demikian juga dengan kredit, pada dasarnya kredit adalah akad tabarru untuk menolong dan membantu meringankan saudara yang tidak bisa membayar tunai, namun ketika kredit dirubah menjadi akad tijarah untuk mencari keuntungan dengan menaikan harga kredit maka hal tersebut terlarang dan termasuk riba. Balasan menolong baik dalam hutang piutang maupun kredit adalah balasan kebaikan dan pertolongan dari Allah, bukan keuntungan dari manusia.

"Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia molong saudaranya." (H.R Muslim)

Allahu A'lam
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel