Pahami Hakekat Riba, Jangan Sampai Salah Menggolongkan Riba

Pahami Riba Itu dari Hakikatnya, Bukan Dari Namannya Atau Dari Akadnya


Sahabat SRM, menurut ibnu Katsir bab riba merupakan bab yang paling sulit menurut pandangan ulama. Salah satu yang paling sulit adalah mengolongkan suatu permasalahan atau transaksi ekonomi ke dalam riba atau bukan riba karena riba memiliki banyak pintu (jenis).

“Riba memiliki tujuh puluh bagian, yang paling ringan adalah sama seperti seorang pria menikahi ibunya sendiri” (H.R  Ibnu Majah)

Rasulullah SAW telah memprediksi terdapat 70 pintu atau jenis riba, namun tidak ada penjelasan lebih mendetail tentang 70 jenis riba tersebut, karena Rasulullah SAW telah wafat beberapa hari setelah turunnya ayat yang terakhir dalam Al Qur’an (Al Baqarah ayat 275 – 281) sebelum menjelaskan banyak tentang riba, sehingga para sahabat belum sempat menanyakan secara mendetail perkara ini. 

Secara umum definisi riba dari segi bahasa adalah tambahan atau peningkatan. Dalam Kitab Tafsir Jalalain definisi riba ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan makanan baik mengenai banyaknya maupun waktunya. Riba dapat mencangkup semua transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah dan dapat terjadi dalam semua jenis transaksi maliyah. Sangat sulit untuk mendefinisikan riba yang disepakti para ulama yang dapat mencakup semua pintu atau jenis riba. Terminologi riba dalam Al Qur’an cenderung menekankan pada penambahan harta secara terlarang berupa bunga yaitu dalam Surat Ar-Rum ayat 39, An-Nisa' ayat 161, Al Imran ayat 130 dan Al Baqarah 178. Penekanan Al Qur'an pada pinjaman berbunga menunjukan bahwa pinjaman berbunga merupakan salah satu riba yang paling berbahaya.

Pintu atau jenis riba setiap generasi berbeda, jika di zaman jahiliyah jenis riba yang paling dikenal adalah riba jahiliah, namun di zaman sekarang riba telah berkembang menjadi banyak jenis dan bentuk serta berubah menjadi semakin cepat dan modern karena dikemas dengan balutan kecanggihan teknologi, sehingga semakin sulit bagi umat untuk mengenali dan membedakan antara riba dan turunannya dengan yang bukan termasuk riba.

Agar dapat menggolongkan suatu permasalahan atau transaksi ekonomi ke dalam riba atau bukan riba maka tidak bisa dengan hanya berdasarkan definisi riba, selain karena belum ada definisi riba yang disepakati juga karena riba akan terus berkembang mengikuti perkembangan ekonomi, sosial, politik dalam masyarakat. Solusi untuk memahami dan menggolongkan riba adalah dengan memahami hakekat riba itu sendiri. Ketika salah memahami hakekat riba maka dampaknya dapat salah ketika menggolongkan jenis dan bentuk transaksi ekonomi yang masuk ke dalam riba.

Setiap hukuman yang disyariatkan Allah SWT pasti memiliki hakekat serta tujuan kenapa sampai Allah SWT melarangnya. Pada prinsipnya semua hukuman yang diturunkan Allah adalah baik untuk manusia karena Allah adalah Maha Pencipta yang mengetahui hal yang baik dan buruk untuk manusia. Banyak manusia yang melanggar dan mengingkari hukum Allah karena banyak yang belum benar-benar memahami hakekat kenapa Allah melarangnya. Tidak semua hakekat atau tujuan hukuman tertulis dalam Al Qur’an dan Hadis. Jika tidak tertulis maka kewajiban kita adalah untuk membaca, berfikir dan mentadaburinya. Jika direnungkan kembali terdapat beberapa hakekat riba dan mengapa Allah dan RasulNya melarang dan bahkan sampai menyatakan perang dengan pelaku riba. Berikut beberapa hakekat riba yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan suatu permasalahan riba zaman sekarang:

1. Memakan harta orang lain secara batil

Riba pada hakekatnya berusaha memakan harta atau usaha orang lain dengan cara yang batil baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disadari atau tidak disadari, baik secara sukarela maupun terpaksa, termasuk didalamnya penindasan, penipuan dan kecurangan.

Memakan harta orang lain dengan batil merupakan suatu tindakan yang sangat keji dan tidak bermoral. Banyak sistem yang sengaja dibuat untuk memeras, memaksa, menindas, menipu dan mencurangi orang lain untuk mengambil keuntungan yang dapat merugikan salah satu pihak. Biasanya sistem tersebut dibuat untuk selalu mengambil keuntungan kepada salah satu pihak dengan cara menghilangkan segala kemungkinan resiko kerugian tanpa usaha.

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu (saling ridho). Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah." (QS. An-Nisa' : 29 - 30)

Islam melarang keras perilaku memakan harta secara batil melalui berbagai cara dan sistem. Memakan harta secara batil merupakan bentuk penindasan, eksploitasi dan perbudakan yang keji dan tidak bermoral. Seharusnya setiap harta hasil dari keuntungan hanya diperoleh berdasarkan usaha sendiri bukan dari usaha orang lain melalui sistem batil yang hanya menguntungkan salah satu pihak.

"dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" (Q.S An-Najm : 39)

Memakan harta secara batil merupakan bentuk kezaliman. Islam sangat mengutuk perbuatan zalim karena menimbulkan konflik, perpecahan, permusuhan, hasad, menghilangkan rasa persaudaraan dan tanggung jawab antar umat. kezaliman merupakan perbuatan yang keji dan tidak bermoral.

"Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya (menzalimi) dan tidak (pula) dianiaya (dizalimi)." (Q.S Al Baqarah 279)

Setiap keuntungan atau manfaat dari suatu transaksi pinjaman termasuk riba karena keuntunggan atau manfaat yang diperoleh dari pinjaman sejatinya hanya selalu menguntukan salah satu pihak sedang pihak lain berisiko mengalami kerugian. Keuntungan atau manfaat tersebut merupakan hasil dari penindasan dan pada hakekatnya termasuk menggambil harta atau usaha orang lain secara batil, meskipun dilakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan. 

"Jika kamu memberikan kepada seorang lelaki pinjaman dan dia menjemput kamu makan, janganlah makannya. Tetapi bila dia menjemput kamu sebelum pinjaman dibuat, maka kamu boleh makan. Dan sekali lagi baginda bersabda : jika kamu memberikan seseorang lelaki pinjaman dan dia menjemput kamu menunggang di atas binatangnya, jangan kamu mengambilnya . Tetapi jika dia menawarkan kamu menunggang di atas binatangnya, sebelum (pinjaman) dibuat, maka kamu boleh menerimanya." (Hadis Riwayat Sunan Baihaqi)

"Jika seorang lelaki memberikan pinjaman pada seseorang, dia tidak sepatutnya menerima hadiah (dia tidak boleh terima hadiah dari penghutang dalam keadaan hutangnya masih tidak dilangsaikan, tetapi dia boleh bila pinjaman tersebut sudah dibayar kepadanya)." (Hadis Riwayat Bukhari)

2. Merusak pasar bebas dan adil

Riba pada hakekatnya akan menyebabkan rusaknya keseimbangan dalam ekonomi sehingga akan menyebabkan rusaknya pasar ekonomi yang bebas dan adil. Transaksi ekonomi yang berlandaskan riba pasti akan merusak atau mengubah pasar yang bebas dan adil. Rusaknya pasar bebas dan adil pada akhirnya akan merusak dan menghancurkan seluruh ekonomi, perdangangan dan bisnis serta membawa kepada kemiskinam dan kemelaratan.

Allah melaknat dan mengancam  setiap usaha yang dapat merusak harga pasar dengan api neraka pada hari kiamat.


'Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.'' (HR at-Tabrani)


Naik turunnya harga dalam pasar bebas dan adil bersumber dari suatu mekanisme pasar yang alami dari suatu dinamika permintaan dan penawaran. Ketika penawaran barang naik, sementara permintaan menurun, maka harga barang tersebutpun akan menurun, begitu sebaliknya. Dalam pasar bebas dan adil tidak ada intervensi, intimidasi, pemaksaan, penipuan dan kezaliman dalam setiap transaksi dari siapapun serta setiap permintaan dan penawaran atau jual-beli didasarkan dasar suka sama suka. Bahkan ketika sahabat meminta kepada Rasulullah SAW untuk menetapkan harga komoditas yang sedang mengalami kenaikan harga, maka Rasulullah SAW menolaknya, karena hanya Allah SWT yang berhak untuk menetapkannya.

Dari Anas ibn Malik ra. Berkata: Harga komoditas perdagangan beranjak naik pada zaman Rasulullah SAW, lalu para sahabat mengadu kepada Beliau seraya berkata: Ya Rasulullah, harga barang-barang menjadi mahal, maka tetapkanlah patokan harga buat kami. Lalu Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga (Zat) Yang Menahan dan Yang Membagikan rizki, dan sesungguhnya saya berharap agar dapat berjumpa dengan Allah SWT dalam kondisi tidak seorangpun di antara kalian yang menuntut saya karena kedzaliman yang menimbulkan pertumpahan darah dan harta" (H.R Abu Dawud)


Hadis diatas bukan berarti Rasulullah SAW tidak mau bertanggungjawab dengan masalah yang dialami masyarakat Madinah yang sedang mengalami kesusahan hidup karena naiknya harga kebutuhan pokok yang tidak terjangkau oleh masyarakat. penetapan harga merupakan tindakan yang mendzalimi kepentingan para pedagang, karena pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan yang tentunya tidak sesuai dengan keridhoannya


Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa pemimpin atau pemerintah tidak memiliki hak untuk menetapkan harga karena adanya ketidakadilan atau krledzaliman yang dilarang yang melibatkan hak milik seseorang, sedangkan setiap orang berhak menjual komoditas perdagangannya dengan harga berapapun berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW yang tidak pernah menetapkan harga meskipun masyarakat menginginkannya.


Namur menurut Umar ibn al-Khattab dan Imam Abu Hanifah serta Imam Malik ibn Anas berpendapat bahwa dalam kondisi tertentu untuk melindungi hak pembeli dan penjual, Islam mewajibkan pemimpin atau pemerintah untuk melakukan intervensi harga dengan syarat utama  bertujuan untuk melindungi kepentingan hajat hidup mayoritas masyarakat atau untuk kemaslahatan umat.


Pasar bebas yang adil dalam konsep Islam berbeda dengan pasar bebas dalam konsep kapital atau liberal. Dalam Islam meskipun naik turunnya harga dikembalikan dalam siklus permintaan dan penawaran dan tidak boleh adanya intervensi harga namun dalam Islam secara tegas melarang seluruh praktik kezaliman yang dapat menimpulkan kerusahan harga dan kerusakan pasar bebas yang adil seperti monopoli atau penimbunan (ihtikar), penipuan, menjual barang tidak sesuai harga pasar, Jual beli najesy, Talaqqil jalab atau talaqqi rukban, Jual beli mukhabarah dan muhaqolah serta Jual beli hadir lil baad.


Pasar bebas dalam konsep kapital atau liberal membebaskan segala bentuk kebijakan dan harga tanpa ada batasan atau aturan. Semua dilakukan untuk memperoleh keuntungan sebesar besarnya termasuk dengan melakukan kecurangan, penindasan, monopoli dan kedzaliman.
Harga dalam pasar yang bebas dan adil merupakan sebuah siklus permintaan dan penawaran yang alami. Harga dan perdagangan akan stabil jika tidak ada tindakan intervensi, intimidasi, pemaksaan, penipuan, kecurangan, monopoli atau penibunan dan kezaliman serta persaingan yang sehat.

Tugas pemimpin atau pemerintah hanya mengontrol dan mengawasi agar tidak ada kecurangan, penipuan, monopoli atau penibunan dan kezaliman. Jika pengawasan dilakukan secara benar didalamnya maka akan terbentuk pasar yang bebas dan adil, namun sebaliknya jika didalamnya masih banyak  penipuan, kecurangan, monopoli atau penibunan, rekayasa dan kezaliman maka pasar akan rusak.


Pemimpin atau pemerintah dilarang untuk mengintervensi harga secara penuh, karena naik turunnya harga merupakan hal normal dan harga akan kembali stabil jika sudah tidak ada kedzaliman didalamnya. Jika kenaikan harga bukan disebabkan kedzaliman, namun disebabkan karena keadaan kahar yang diluar kuasa manusia seperti bencana alam, maka itulah ujian dan Kemahakuasaan Allah SWT. Keadaan kahar akan hilang dengan sendirinya seiring hilang penyebabnya sehingga harga kembali normal. Intervensi berlebihan dari pemimpin atau pemerintah justru akan menghancurkan pasar bebas dan adil serta akan menimbulkan berbagai dampak buruk atau kerusakan lain seperti munculnya prakti korupsi, suap, persaingan tidak sehat, monopoli dan kekacauan.

Merusak harga dalam pasar bebas dan adil merupakan suatu kedzaliman sehingga Rasulullah SAW menggolongkannya  ke dalam salah satu bentuk riba.



Abdullah bin Abu Aufa berkata : Seorang lelaki memaparkan beberapa makanan di pasar dan memberikan sumpah palsu bahawa beliau ditawarkan sedemikian (harga) untuk semua walaupun dia tidak ditawarkan dengan harga sedemikian. Kemudian turun ayat dari Allah SWT yang maksudnya : "Sesungguhnya orang yang menukar janji Allah dan sumpah mereka dengan harga yang sedikit, itulah orang yang tidak akan mendapat bahagian di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di hari kiamat, dan tidak akan membersihkan mereka, dan bagi mereka azab yang tidak terperi sakitnya." (Surah Ali-Imran ayat 77). Ibn Abu Aufa menambah : Manusia (seperti yang digambarkan diatas) adalah pemakan riba yang berbahaya. (H.R Bukhari) 

Anas ibn Malik berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda (maksudnya) : "Menipu seorang mustarsal (seseorang yang tidak tahu akan harga pasaran) adalah riba." (H.R Baihaqi)

"Najish (seorang yang bertindak sebagai agen untuk menaikkan harga pasar didalam lelang) adalah pengambil riba yang disumpah." (H.R Bukhari)

3. Adanya unsur ketidakjelasan dan spekulasi

Transaksi ekonomi dalam Islam sangat menekankan adanya kejelasan dan kepastian baik dari segi akad, kualitas dan kuantitas barang serta pembayaran. Ketika transaksi ekonomi dilakukan dengan ketidakjelasan, ketidak pastian (gharar) dan spekulasi, mendapat hasil tanpa kerja, judi, taruhan, untung-untungan (maysir) maka akan menyebabkan terjadinya penupian, konflik, permusuhan, dengki dan kebenciaan. Ketidajelasan dan spekulasi dilarang dalam Islam dan batil.

"Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakannya)” (Q.S Al Maaidah: 91)

Begitu pentingnya pembahasan mengenai ketidakjelasan dan spekulasi dalam jual beli sampai Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun larangan mengenai jual beli gharar, maka ia termasuk dalam bahasan utama dalam kitab buyu’ (jual beli). Oleh karenanya, Imam Muslim memasukkan masalah ini di awal-awal bahasan jual beli. Masalah gharar mencakup permasalahan yang amat banyak, tak terbatas. Yang termasuk jual beli gharar mulai dari jual beli budak yang kabur atau tidak ada atau tidak jelas, jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan, jual beli sesuatu yang belum sempurna dimiliki oleh penjual, jual beli ikan dalam kolam yang memiliki banyak air, jual beli susu dalam ambing betina, jual beli janin dalam perut, jual beli seonggok makanan yang tidak jelas timbangannya, jual beli baju yang tidak jelas dari tumpukan pakaian, jual beli kambing dari segerombolan kambing dan contoh-contoh semisal itu. Semua bentuk jual beli ini termasuk dalam jual beli yang batil karena mengandung gharar tanpa ada hajat (kebutuhan).” (Syarh Muslim, 10: 156).

Setiap transaksi ekonomi yang mengandung unsur ketidakjelasan, spekulasi atau transaksi dengan spekulasi tinggi, jual beli yang tidak jelas kuantitas dan kualitasnya serta tidak jelas penyerahan dan pembayarannya maka dilarang dan batil seperti transaksi dua harga dalam satu akad, jual beli hashoh, jual beli munabadzah dan mulamasah dan jual beli ijon


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad.” (HR. An Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli gharar (mengandung unsur ketidak jelasan).” (HR. Muslim)


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari).

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua?” Para sahabat bertanya, “Apa maksudnya telah menua?” Beliau menjawab, “Bila telah berwarna merah.” Kemudian beliau bersabda, “Bila Allah menghalangi masa penen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?” (HR. Bukhari dan Muslim).


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan anggur hingga berubah menjadi kehitam-hitaman, dan penjualan biji-bijian hingga mengeras” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari dan Muslim).


“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

"Nabi melarang penjualan hewan dengan hewan ketika pembayaran dilakukan di kemudian hari." (Tirmidhi, Abu Daud, Nasai, Ibn Majah dan Darimi)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud muzabanah adalah seseorang membeli buah (yang masih di pohon) ditukar dengan kurma yang sudah dikilo atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan anggur yang sudah dikilo” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah” (HR. Bukhari dan Muslim).


Dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila." (Al-Baqarah: 275); Maka Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang tidak mau meninggalkan (berhenti dari) mukhabarah (bagi hasil), maka diserukan perang terhadapnya dari Allah dan Rasul-Nya." (H.R Abu Daud)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara'ah, ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan itu. Muzabanah ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak). Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon). Sesungguhnya semuanya dan yang semisal dengannya diharamkan tiada lain untuk menutup pintu riba, mengingat persamaan di antara kedua barang yang dipertukarkan tidak diketahui karena belum kering. Karena itulah para ahli fiqih mengatakan bahwa persamaan yang tidak diketahui sama halnya dengan mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya). Berangkat dari pengertian inilah maka mereka mengharamkan segala sesuatu yang menjurus ke arah riba dan memutuskan semua sarana yang membantunya, sesuai dengan pemahaman mereka. 

Transaksi ekonomi yang mengandung segala unsur ketidakjelasan dan spekulasi adalah bathil atau tidak sah  karena mengandung bahaya dan konflik bagi pihak-pihak yang terkait dengan transaksi tersebut.

4. Keadilan ekonomi

Riba pada hakekatnya adalah menghilangkan keadilah ekonomi. Allah Ta’ala menurunkan larangan riba agar manusia dapat menjalani keadilan ekonomi dengan adil. Ketika keadilan ekonomi telah dihilangkan dengan riba maka akan terjadi kesenjangan, dimana yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Berbeda jika keadilan ekonomi telah ditegakkan, maka akan ada distribusi kekayaan secara adil ke seluruh masyarakat. 

Dalam ekonomi yang berkeadilan, keuntungan hanya bisa diperoleh berdasarkan hasil jerih payah usaha sendiri, bukan dari usaha orang lain. Ketika keuntungan diperoleh dari usaha orang lain maka itu telah melanggar prinsip keadilan ekonomi.

Pinjaman berbunga jelas melanggar prinsip keadilan ekonomi. Pemberi pinjaman sama sekali tidak memiliki resiko kerugian, sedang peminjam memiliki resiko kerugian. Sehingga pemberi pinjaman memperoleh keuntungan bunga dari hasil usaha orang lain. 

Keuntungan yang diperoleh dari kenaikan waktu juga menyalahi prinsip keadilan ekonomi. Dalam Islam dilarang mendapatkan keuntungan dari waktu karena termasuk salah satu jenis riba. Ketika keuntungan diperoleh dengan waktu, maka untuk mendapatkan keuntungan tidak perlu berkerja, melainkan dengan memberikan pinjaman atau kredit dan dengan waktu keuntungannya akan semakin bertambah. Inilah yang menyalahi prinsip keadilan ekonomi.


"Tiada riba melainkan di dalam nasiah (penangguhan/menunggu)." (H.R Bukhari)

Segala bentuk sistem ekonomi yang dibuat untuk merugian salah satu pihak secara tidak adil maka ia batil dan riba. Dalam Islam berlaku prinsip keuntungan harus disertai dengan resiko untuk menghindari ketidakadilan atau dzalim. Semakin besar keuntungan semakin besar pula resikonya. Dengan demikian harta akan diputarkan dengan resiko secara adil melalui adanya potensi kerugian. Ketika resiko dihilangkan maka harta tidak akan berputar secara adil dalam perekonomian. Allah menghendaki sistem ekonomi yang berlandaskan keadilan bukan sistem yang penuh dengan penindasan, perbudakan, kejahatan.

Ketika suatu transaksi ekonomi yang didalamnya mengandung sistem yang tidak adil maka seiring berjalannya waktu pada akhirnya akan membuat keuntungan hanya terkumpul pada segelintir pihak sedang pihak lain susah untuk mendapatkan keuntungan meskipun dengan usaha yang maksimal. Inilah yang menyebabkan semakin tingginya kesenjangan sosial, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Kekayaan diperoleh secara tidak adil.


Sahabat SRM, dalam Tafsir Ibnu Katsir para ahli fiqih mengharamkan segala sesuatu yang menjurus ke arah riba dan memutuskan semua sarana yang membantunya, sesuai dengan pemahaman mereka. Perbedaan pendapat dan pandangan mereka dalam masalah ini berpangkal dari ilmu yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada masing-masing dari mereka, karena Allah SWT telah berfirman:

"Dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih berilmu." (Yusuf: 76)

Hakekat riba yang kami kelompokan tentu masih jauh dari kata sempurna dan masih jauh dari sebenar-benarnya hakikat riba. Oleh karena itu kami mengajak seluruh sahabat SRM semua untuk merenungkan kembali tentang hakikat riba dan benang merah mengapa Allah mengharamkan riba. Ketika sahabat sudah mendapat benang merah dari hakikat riba maka apapun bentuk dan jenis traksasi ekonomi yang berkembang, untuk dapat menggolongkan ke dalam kategori riba atau tidak maka lihatlah secara mendalam dan mendetail apa sebenarnya hakekat dari traksaksi ekonomi tersebut. Sangat sulit untuk mendefinisikan riba secara tepat karena definisinya pasti berubah karena perubahan ekonomi, sosial, politik dan perkembangan teknologi sedang hakikat tentang riba itu sendiri tidak akan berubah. Apapun dan bagaimanapun bentuk transaksi ekonomi, seperti transaksi investasi, multi level atau piramida, saham dan segala transaksi ekonomi lainnya maka kembalikanlah kepada hakikat riba. Berhati-hatilah dalam menjalankan setiap transaksi ekonomi dan bersikaplah wara serta hindarilah transaksi yang didalamnya terdapat unsur hakekat riba.

Allahu A'lam
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel