Bersikaplah Wara dan Tinggalkan Seluruh Pintu Riba Yang Meragukan Biar Gak Merugikan
Selasa, 19 November 2019
Sahabat SRM, wara adalah perbuatan yang mulia, terpuji dan sangat dianjurkan dalam Islam. Wara berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya).
Seorang yang memiliki sikap wara maka akan memiliki kehati-hatian dan kekhawatiran yang tinggi dalam mencari dan menggunakan rizkinya. Ia tidak menggampangkan rizki sehingga tidak mudah terkena riba atau menggunakan rizki yang haram. Ia akan melakukan perenungan untuk setiap transaksi ekonomi yang masih syubhat antara riba dan bukan riba dan akan meninggalkan segala yang syubhat untuk menjaga izzah atau kehormatannya. Ia merasa sangat berdosa dan segera bertaubat jika ada rizkinya yang haram. Ia tidak akan mudah untuk mengikuti fatwa atau pendapat ulama yang masih meragukan tentang riba dan berusaha untuk meninggalkan fatwa atau pendapat tersebut.
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah l adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
"Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR Ibnu Majah).
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni).
"Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW dan para sahabat sangat menjunjung sifat wara, bahkan Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan seluruh makanan yang sudah dikonsumsi dengan tangannya setelah mengetahui bahwa makanan yang dikonsumsinya tidak halal. Inilah contoh bentuk aplikasi sifat wara yang menunjukan tingginya keimanan dan ketakwaan. Tidak hanya sebelum melakukan hal syubhat atau haram namun setelah melakukannya pun harus segera bertaubat dan dibersihkan.
"Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar radliallahu ‘anhu memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar radliallahu ‘anhu balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?”. Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makanan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari no. 3629)
Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum, halal atau haram mengatakan “Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma'; lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).
Sikap wara sangat penting untuk melindungi diri dari riba karena menurut ibnu katsir bab riba adalah bab yang paling sulit menurut ahli ilmu agama, sehingga banyak perbedaan fatwa dan pendapat ulama serta banyak syubhat didalamnya. Ketika memiliki sikap wara maka tidak akan mudah masuk kedalam perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya khususnya yang terkait dengan riba. Ketika mudah masuk kedalam perkara yang syubhat maka pada akhirnya akan mudah dengan perkara yang jelas haram dan riba.
Allahu A'lam
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Allahu A'lam
Sumber : Diolah dari berbagai sumber