Riba Antara Hakikat dan Presepsi

Riba Antara Hakikat dan Presepsi

Sahabat SRM, saat ini riba telah menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu faktor utama semakin tersebar luasnya riba adalah banyak presepsi masyarakat yang salah tentang riba. Banyak pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dengan menanamkan presepsi yang salah tentang riba.

Dibutuhkan dakwah dan edukasi untuk meluruskan kembali presepsi akan hakikat kebenaran dari riba, sehingga masyarakat dapat bertahan dari serangan-serangan presepsi yang telah diluncurkan baik melalui media massa maupun melalui media sosial. Serangan presepsi riba semakin meluas seiring dengan meluasnya penggunaan internet. Presepsi yang salah tentang riba terus diluncurkan oleh pihak tertentu agar masyarakat beranggapan bahwa riba sesuatu yang halal, biasa, modern dan kekinian.

Presepsi yang salah tentang riba telah menjangkit seluruh jenjang dan lapisan masyarakat, tidak hanya masyarakat yang awan dan tidak tahu tentang agama dan riba tapi juga kaum terpelajar dan bahkan ulama. Mungkin kondisi ini adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari adanya media elektronik maupun media sosial, tetapi mungkin juga karena kondisi masyarakat sekarang yang sudah mulai kehilangan keimanan dan moralitasnya. Berikut adalah beberapa presepsi yang salah tentang riba.

1. Prespesi bahwa riba sama dengan jual beli

Presepsi yang paling banyak adalah menyamakan riba dengan jual beli. Lembaga keuangan syariah berlomba-lomba menghalalkan riba dengan alasan jual beli. Keuntungan dalam riba (bunga) dianggap sama dengan keuntungan dalam jual beli. Mereka menggunakan istilah Islam seperti murabahah untuk menipu masyarakat. Mereka memanipulasi akad dan menggunakan kemasan jual beli walaupun sebenarnya jual beli yang terjadi hanya sebagai kamuflase belaka. Namun setelah turunnya surat Al Baqarah ayat 275, Allah dan RasulNya telah menolak dan mengecam orang yang menyatakan bahwa riba dan jual beli atau perdagangan sama.

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu karena mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Q.S Al Baqarah : 275)

Pada hakikatnya riba dan jual beli sangat berbeda. Selain dengan menjual harga bukan dengan harga pasar, perbedaan mendasar antara riba dengan jual beli adalah adanya potensi untung dan rugi. Jual beli mempunyai potensi untung dan rugi berdasarkan keterampilan, kesungguhan dan kondisi ekonomi, sedang riba tidak memiliki potensi rugi melainkan selalu, tidak boleh tidak, mutlak, harus dan pasti untung karena terdapat jaminan keuntungan bagaimanapun kondisinya. Semua transaksi yang didalamnya terdapat jaminan keuntungan di dalam kondisi dan cara apa pun adalah transaksi riba. 

2. Presepsi bahwa riba adalah pertolongan

Terdapat presepsi yang menyatakan bahwa riba adalah sebuah pertolongan. Orang yang sedang membutuhkan bantuan dana diberi pinjaman berbunga. Pinjaman berbunga dianggap sebagai bantuan yang dapat menolong. Namun justru sebaliknya dalam pandangan Allah segala bentuk riba adalah suatu tindakan kezaliman atau aniaya.

Pada hakikatnya riba bukanlah sebuah pertolongan yang dampaknya membawa kepada kemaslahatan, kesejahteraan atau kemakmuran. Namun riba  hakikatnya adalah sebuah kezaliman, aniaya, penindasan dan perbudakan. Tidak ada unsur menolong sama sekali dalam praktek riba. Riba justru menjadi pintu dihalalkannya penindasan, perbudakan, permusuhan dan ketidakadilan.

Orang yang bertujuan untuk menolong tidak akan memberikan bantuan dengan bunga. Jika bertujuan menolong pasti ia akan memberikan bantuan dana tanpa bunga atau melalui kerjasama syirkah bagi hasil.

3. Presepsi bahwa riba boleh jika bunga tidak berlipat ganda


Terdapat presepsi yang menyatakan bahwa transaksi dikatakan riba jika telah berlipat ganda dan memberatkan. Sedang jika transaksi tidak berlipat ganda, kecil, tidak memberatkan dan masih wajar maka tidak termasuk riba. Presepsi yang demikian karena telah salah dalam mengartikan riba berlipat ganda dalam surat Al Imran ayat 130.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan."  (Q.S Al Imran : 130)

Sekilas surat Ali Imran ayat 130 ini hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun dalam memahami maksud suatu ayat harus menyeluruh dan mengkaitkannya secara komprehensif dengan ayat riba yang lain, termasuk dengan asbabun nuzul dan tahapan fase pelarangan riba. Jika dikaitkan dengan ayat-ayat riba dalam surat Al Baqarah dari ayat 278 ditegaskan bahwa riba telah diharamkan secara mutlak dan tidak memandang besar kecilnya tambahan bunga atau berlipat ganda atau tidak.

Kata berlipat ganda yang dimaksud dalam surat Al Imran ayat 130 lebih tepat jika diartikan sebagai sifat bukan sebagai syarat. Sebagai sifat berarti sifat atau karakteristik riba akan selalu berlipat ganda dan terus berkembang karena akan selalu mengalami pertambahan bunga seiring dengan bertambahnya waktu.

Sehingga pada hakikatnya riba tidak memandang seberapa berlipat atau seberapa besar bunga. Sekecil apapun lipatan atau sekecil apapun bunga maka tetaplah riba. Bahkan sekalipun tambahannya hanya seikat jerami sudah termasuk riba.

Abu Burdah bin Abi Musa telah berkata: Aku telah datang ke Madinah dan bertemu dengan Abdullah ibn Salaam (rabbi Yahudi yang telah memeluk Islam) yang telah berkata: Kamu (sekarang) tinggal di dalam negeri yang mana riba sangat merajalela; oleh karena itu jika ada orang yang berhutang kepada kamu dan memberi kamu satu muatan rumput kering atau satu muatan gandum atau seikat jerami, jangan menerimanya karena ia adalah riba. (H.R Bukhari)

4. Presepsi bahwa riba adalah pilar pertumbuhan dan kemajuan ekonomi

Terdapat presepsi bahwa riba adalah pilar pertumbuhan dan kemajuan ekonomi di zaman modern saat ini. Riba dianggap menjadi tulang punggung berbagai kemajuan dalam berbagai kehidupan manusia. Namun faktanya zaman sekarang ekonomi hanya dikuasai oleh segilintir orang, kesenjangan semakin terasa dimana yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin, ekonomi sangat rentan terjadi krisis, adanya depresi dan inflasi serta meningkatnya kemiskinan.

Riba pada hakikatnya membawa masyarakat ke dalam kehancuran dan kemiskinan. Riba meskipun awalnya terlihat banyak namun akan menjadi sedikit, serba kekurangan dan berujung kepada kemelaratan dan kemiskinan.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW ni telah bersabda: Hindari tujuh dosa besar yang menghancurkan. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau berkata: Yang menyekutukan Allah; yang berlatih sihir; yang membunuh orang yang dilarang oleh Allah kecuali karena alasan yang dibenarkan; yang memakan riba; yang memakan harta anak yatim; yang mengalah kepada pihak musuh dan lari meninggalkan medan perang dimasa perang dan yang menuduh gadis suci yang tidak pernah berniat melanggar kesuciannya dan dia juga adalah seorang yang sangat beriman” (H.R Bukhari)

“Riba meskipun banyak namun akibatnya menjadi sedikit.” (H.R Al Hakim)

“Tidaklah seseorang membiasakan riba, kecuali Allah membalasnya dengan kekurangan” (H.R Ibnu Majah)

“Rasulullah SAW bersabda : meskipun riba sebanyak ini, ia akan membawa akhirnya ke kemelaratan". (H.R Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi).

5. Presepsi bahwa riba boleh jika dilakukan dengan saling ridha 

Terdapat presepsi bahwa riba tetap halal karena dilakukan dengan dasar ridha, suka sama suka dan ikhlas. Bunga bank dianggap bukan riba dan halal jika dilaksanakan dengan saling ridha. Tambahan bunga dianggap wajar sebagai ucapan terima kasih karena bank atau lembaga keuangan telah memberi pinjaman.

Perlu ditegaskan dalam Islam saling ridha tidak merubah suatu hukum dari haram menjadi halal. Seperti judi yang meskipun dilakukan dengan saling ridha tetap haram atau zina yang meskipun dilakukan dengan saling ridha dan suka sama suka tetap haram.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta orang lain diantara kalian dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian." (Q.S. An-Nisa: 29)

Dalam ayat di atas, saling ridha merupakan syarat dalam jual beli atau perdagangan agar hasil keuntungannya halal. Namun syarat utama agar halal adalah tidak memakan harta orang lain dengan cara batil. Riba merupakan salah satu bentuk memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga meskipun riba dilakukan dengan saling ridha tetap haram.

6. Presepsi bahwa riba boleh dalam keadaan darurat

Terdapat presepsi bahwa riba diperbolehkan dalam keadaan darurat. Presepsi tersebut tidak sepenuhnya salah, hanya yang perlu untuk digaris bawahi adalah parameter suatu keadaan dikatakan darurat.

Imam Suyuthi dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”

Dalam beberapa literatur, keadaan darurat sering dicontohkan saat keadaan sangat terdesak yang mengharuskannya memakan babi sebagai satu-satunya makanan yang bisa dimakan. Saat itu ia boleh memakan babi demi untuk menyelamatkan nyawanya, namun saat kondisi sudah terdapat makanan alternatif maka ia harus segera meninggalkannya.

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (yang keluar mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, ... Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan (memakan benda-benda yang diharamkan) tanpa sengaja berbuat dosa (maka bolehlah dia memakannya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S Al Maa’idah : 3)

"Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya karena darurat), sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al An’aam : 145)

Dalam keadaan darurat atau terpaksa Allah menghalalkan daging babi dengan 2 syarat yaitu tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas.

Riba dalam bentuk apapun pada hakikatnya dilarang kecuali dalam keadaan darurat yang dapat mengancam nyawanya. Keadaan darurat tidak dapat dijadikan alasan jika masih ada alternatif seperti zakat atau sedekah dan telah berusaha untuk mencari solusi lain seperti penjaman tanpa bunga atau menjual aset. Keadaan darurat juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menghalalkan riba untuk kebutuhan yang tidak mendesak yang mengancam nyawanya. Jadi alasan keadaan darurat pada kondisi saat ini jarang terjadi jika umat Islam menerapkan hidup sederhana dan tidak hidup bermewah mewahan serta menumbuhkan sedekah dan zakat.

Banyak yang saat ini melakukan riba dengan alasan darurat namun untuk tujuan membeli rumah atau kendaraan. Darurat untuk membeli rumah atau kendaraan tidak bisa dijadikan alasan karena jika tidak membeli rumah atau kendaraan pun masih tetap hidup serta masih terdapat banyak alternatif lain seperti menyewa rumah dan menggunakan kendaraan umum.

7. Presepsi bahwa riba boleh untuk hal yang bersifat produktif, bukan konsumtif

Terdapat presepsi bahwa riba boleh untuk sesuatu yang bersifat produktif dan terlarang untuk sesuatu yang bersifat konsumtif. 

Presepsi ini sangat keliru karena larangan riba dalam Al Qur'an menggunakan kata al (al-riba) yang berarti umum, sehingga mencakup hal yang produktif maupun konsumtif.

Selain itu turunnya larangan riba juga terjadi saat mayoritas masyatakat menggunakan riba untuk sesuatu yang bersifat produktif. Hutang riba untuk sesuatu yang bersifat konsumtif baru terjadi di zaman sekarang karena pengaruh gaya hidup dan semakin mahalnya harga dan kebutuhan hidup.


8. Presepsi bahwa riba halal ketika  akad dilakukan sesuai syariah


Terdapat presepsi yang berkembang di masyarakat jika akad sudah sesuai syariah maka menjadi halal. Kini banyak akad yang hanya berlabel syariah atau hanya menggunakan kata-kata Islam, namun dalam prakteknya hanya manipulatif dan justru sangat menyalahi dari hakikat riba itu sendiri. Memanipulasi akad dan menggunakan agama untuk mendapatkan keuntungan yang bersumber dari menipu umat adalah perbuatan dosa yang besar.

Sebagai contoh pinjaman diklaim "syariah" dengan akad pinjaman telah ditambahkan  keuntungan (bunga). Misal pinjaman 20 juta, namun diakadnya 22 juta dan dicicil secara flat sesuai syariah. Ini adalah manipulatif riba.

Lihatlah riba jangan hanya berdasarkan  akad atau label syariah atau kata-kata Islam, tapi lihatlah kepada hakikat dari riba sendiri.


9. Presepsi bahwa larangan riba memberatkan dan menyempitkan kehidupan

Semakin berkembangnya zaman semakin banyak presepsi yang menyatakan bahwa ajaran Islam tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Termasuk dalam larangan riba yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman karena dirasa memberatkan dan menyempitkan kehidupan. Zaman sekarang bagaimana akan membeli rumah, kendaraan jika tidak melalui jalan riba?.

Pada hakikatnya setiap perintah dan larangan dalam Islam tidak untuk memberatkan hambanya, melainkan untuk kebaikan hambanya. Siapa yang melanggar perintah dan larangganya maka baginya kehidupan yang sempit.

“Dia sama sekali tidak menjadikan pada agama ini sesuatu yg memberatkan kalian“. (QS. Al-Hajj: 78).

“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit” (QS. Thoha: 124).

Allah melarang riba karena didalamnya banyak sekali dampak negatif baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara. Riba juga akan membawa pelakunya menjadi sempit hidupnya, kosong jiwanya dan hilang ketenangan dan keberkahan hidupnya. Riba akan membawa kepada kekurangan dan kehancuran. 

10. Presepsi bahwa riba boleh karena banyak membuka lapangan kerja

Terdapat presepsi bahwa riba boleh karena menciptakan banyak lapangan kerja. Dengan demikian bunga riba boleh dibayarkan untuk membayar gaji karyawan dan biaya operasional. Jika bunga dilarang bagaimana bank atau lembaga keuangan lain dapat membayar gaji karyawan dan membayar biaya operasional.

Anggapan demikian sangat keliru, ketika Allah telah mengharamkan judi maka sebanyak apapun judi tersebut memberi manfaat dan lapangan pekerjaan untuk banyak orang sekalipun tetap haram. Bahkan dalam riba ditegaskan bahwa Rasulullah SAW juga melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksi ini menunjukan bahwa orang yang mendukung pekerjaan riba juga diharamkan.

"Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksi. Beliau mengatakan, mereka semua sama." (H.R Muslim dan Abu Daud)


11. Presepsi riba boleh karena faktor inflasi


Saat ini mayoritas masyarakat menggunakan uang kertas yang didalamnya terdapat faktor inflasi. Faktor inflasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap presepsi riba, sehingga banyak yang menghalalkan riba karena faktor inflasi. Jika dikaitkan dengan transaksi hutang piutang, jika pemberi pinjaman memberikan uang saat ini maka ketika beberapa tahun mendatang ketika peminjam mengembalikan uang tersebut sudah mengalami penurunan sehingga pemberi pinjaman mengalami kerugian. Apakah tambahan hutang piutang boleh sebagai akibat adanya inflasi?

Mayoritas ulama dari Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa naik-turunnya nilaii tukar karen inflasi (uang fulus selain emas dan perak) tidak berpengaruh kepada pelunasan hutang. Uang yang dibayarkan saat pelunasan harus sama jumlahnya dengan yang dibayar saat dipinjam tanpa memperhitungkan inflasi.  Selain itu alasan ini tidak lagi relevan karena tingkat inflasi bisa mencapai nol atau negatif (deflasi).


12. Presepsi riba dan gerakan menabung 

Presepsi yang saat ini banyak diumbar di media adalah gerakan menabung. Banyak bonus, kemudahan dan keuntungan yang akan didapat bagi mereka terus meningkatkan tabungan. Bentuk keuntungan atau bonus dari deposito tabungan hasil riba jelas termasuk riba.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menabung dan menumpuk-numpuk harta. Islam mengajarkan untuk produktif yaitu segera mengeluarkan harta (tidak menyimpannya) untuk hal produktif (bukan konsumtif) untuk kemaslahatan yang lebih besar baik dengan cara beramal maupun syirkah. Produktif akan membuat uang berputar dalam perekonomian, sehingga akan membangkitkan perekonomian, memberi manfaat yang lebih besar dan dapat meningkatkan kesejateraan seluruh masyarakat.

"Janganlah kalian menumpuk-numpuk harta, karena akan mengakibatkan kalian sangat mencintai dunia." (HR. Turmidzi)

Sahabat SRM, masih banyak presepsi yang salah tentang riba yang semakin hari semakin berkembang di masyarakat. Semakin banyak presepsi dan penggiringan opini yang mengarahkan bahwa riba merupakan persoalan khilafiyah atau persoalan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Riba dianggap sebagai persoalan perbedaan interpretasi. Lihatkah kebenaran berdasarkan dalil secara komprehensif dan menyeluruh sehingga tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Bersikaplah wara', tinggalkan presepsi-presepsi yang masih belum jelas kebenarannya. Pilihlah kebenaran hakiki bukan presepsi. Yakinlah akan janji dan kebenaran Allah.

Allahu A’lam.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel